Minggu, 09 Januari 2011

3 TRAGEDI YANG PERNAH MENGGEGERKAN INDONESIA TAHUN 80AN



1. Petrus (penembakan misterius)
Tapi dua butir peluru segera bersarang di tubuhnya. Satu di dada dan satu di kepala. Tubuhnya lalu tumbang dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Esok hari, bisik-bisik beredar di masyarakat. Dia adalah Robert preman yang selama ini ditakuti, sampah masyarakat, bromocorah!

Mungkin nasib Bathi Mulyono masih lebih baik. Begitu mendengar dirinya ikut menjadi target, dia segera melarikan diri hingga ke sejumlah negara luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir. Namun, Bathi dan anaknya yang kini berusia 25 tahun, Lita, telah bertemu kembali.

Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius. Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Kala itu, para pria bertato disergap ketakutan karena muncul desas-desus, petrus mengincar lelaki bertato. Peristiwa penculikan dan penembakan terhadap mereka yang diduga sebagai gali, preman, atau residivis itu, belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai inisiatif dan atas perintahnya. "Ini sebagai shock therapy," kata Soeharto dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Mayat-mayat itu ketika masih hidup dianggap sebagai penjahat, preman, bromocorah, para gali, dan kaum kecu yang dalam sejarah memang selalu dipinggirkan, walau secara taktis juga sering dimanfaatkan. Pada saat penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Meski begitu, menurut Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya.” Mungkin tidak terlalu keliru untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri.

Sayang, petrus hanya berlaku untuk preman kelas teri, mereka yang merampok karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena mereka rakus...

2. Sengkon dan Karta, Sebuah Ironi Keadilan
Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil.

Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.

Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan.
Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.

Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka.

Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.

Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.

Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan (berbagai sumber)

3. Arie Hanggara
Ada yang bilang ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Tapi ibu tiri yang satu ini jauh lebih kejam. Arie Hanggara, bocah 7 tahun ini tewas dianiaya orang tuanya sendiri. Peristiwa pada akhir November 1984 itu tiba-tiba menyentakkan perhatian publik. Media massa menuliskannya panjang-lebar. Sidang pengadilannya membeludak. Orang ingin tahu seperti apa sosok kedua orang tua Ari: Machtino bin Eddiwan dan Santi binti Cece. Bahkan rekonstruksi yang harus dilakukan suami-istri itu nyaris gagal karena massa melampiaskan kemarahan kepada kedua pesakitan.

Arie tiba-tiba menjadi simbol dari anak-anak yang tertindas. Bahkan sampai-sampai tim pengacara orang tua Arie mendapat teror dari orang-orang yang tidak dikenal. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto sempat membuatkan patung Arie--meski akhirnya dibatalkan--sebagai peringatan agar kasus serupa tak terulang di masa mendatang.

Akibat himpitan beban ekonomi yang dialami oleh kedua orang tuanya, ayahnya seorang pengangguran, dengan tiga orang anak, membuatnya gelap mata. Akibatnya dia menjadi ringan tangan. Ketika suatu hari dituduh mencuri uang maka Arie Hanggara dipukul dan disiksa hingga menemui ajal di tangan orang yang seharusnya melindunginya.

Kisah bocah malang tersebut pernah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Frank Rorimpandey, dan dibintangi oleh Deddy Mizwar, Joice Erna. 

Ini adalah salah satu kasus yang cukup menggegerkan secara nasional ketika itu (Tahun 1988).

Kisah Kelam Tewasnya Keluarga Letkol (Mar) Purwanto

Surabaya - Sumiarsih dan anaknya Sugeng diduga akan dieksekusi dihadapan regu tembak, Jumat (18/7/2008) dini hari. Keduanya harus menjalani hukuman mati karena telah melakukan pembunuhan terhadap keluarga Letkol (Mar) Purwanto Agustus 1988 silam.

Pembunuhan yang dilakukan Sumiarsih bersama Djais Adi Prayitno (suami), Sugeng (anak) dan Adi Saputro (menantu Sumiarsih) ini dilatar belakangi persoalan utang.

Sumiarsih yang saat itu menjadi germo di lokalisasi Dolly tidak bisa membayar utang kepada Korban Purwanto. Karena itulah, Sumiarsih nekat menyusun rencana untuk melakukan pembunuhan. Keempatnya kemudian mendatangi kediaman Purwanto yang ada di Jalan Dukuh Kupang, dan kemudian terjadilah pembantaian yang menewaskan Letkol (marinir) Purwanto, Sumaryatun (keponakan Purwanto), Harjo Bismoko (anak), Harjo Budi Prasetyo (anak) dan Sunarsih istri Letkol Purwanto.

Setelah kelimanya tewas ditangan Sumiarsih Cs, mayat-mayat itu kemudian dimasukan ke dalam mobil Jeep Taft GT, dan diterjunkan ke jurang Songgoriti, Kota Batu pada 13 Agustus 1988.

Sayangnya, rencana melenyapkan jasad korban dengan membuang mayat kelima korban dan mobil diketahui warga setempat yang mengabarkan ke pihak kepolisian kalau ada kecelakaan mobil masuk jurang. Kebetulan saat itu ada seorang anggota polisi dari Polres Malang bernama Marlin Wibowo yang mendengar musibah itu melalui pesawat HT yang dibawanya.

Mendengar kabat tersebut, Marlin yang saat itu berpangkat Sersan Kepala dan tengah berencana menghabiskan waktu malam minggunya dengan berjalan-jalan segera meluncur ke lokasi kecelakaan untuk memastikan kejadian itu.

Sesampainya di lokasi kecelakaan sekitar pukul 19.00 WIB, lalu lintas di lokasi kecelakaan sudah macet karena dipenuhi warga yang ingin melihat peristiwa tersebut.

Melihat hal tersebut, polisi kata Marlin menganggap kejadian tersebut adalah murni kecelakaan karena mobil tersebut masuk ke jurang sedalam sekitar 15 meter.

Namun setelah dilakukan penyelidikan, dugaan kecelakaan segera berubah. Karena polisi menemukan banyak kejanggalan yang didapat di lokasi kecelakaan. Bukti-bukti yang memperkuat bahwa kejadian tersebut bukan kecelakaan adalah dengan terlemparnya seluruh korban dari dalam mobil dengan banyaknya ceceran darah berwarna kuning. Dari hasil penyelidikan, darah tersebut bukan karena akibat kecelakaan, tapi karena hantaman benda tumpul

Bukti lainnya adalah korban Letkol (Mar) Purwanto saat itu masih mengenakan seragam dinas TNI AL dan hanya mengenakan satu sepatu. Bukti lain yang semakin memperkuat kecurigaan adalah adanya bau bensin yang menyengat keluar dari dalam mobil.
Padahal menurut polisi, bahan bakar yang digunakan mobil taft itu adalah solar.

Akhirnya, setelah penyelidikan yang dibantu oleh POM TNI, hasil penyelidikan pelaku mengarah ke keluarga Sumiarsih sebagai pekalu pembantaian. Akhirnya Pengadilan negeri (Kejari) Surabaya pada 20 Februari 1989 menjatuhkan Vonis mati kepada keempat pelaku.

Kemudian pada 1 Desember 1992, Adi Saputro yang berstatus anggota Polri dieksekusi di Surabaya. Selanjutnya, pada 27 Juni 2005, Djais Adi Prayitno meninggal dunia di RSUD Sidoarjo karena sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar