Ketika sedang “nongkrong” atau duduk di atas toilet hotel, biasaya kita melihat sebuah gulungan kertas yang menggantung ditembok. Gulungan kertas itu lazim disebut kertas toilet yang digunakan untuk membersihkan diri sehabis buang air. Singkatnya kertas tersebut digunakan untuk mengatasi perkara toilet.
Bagi masyarakat Indonesia mungkin kertas toilet bukan hal yang penting karena kebiasaan toilet di Indonesia tak menggunakan kertas toilet. Masyarakat Indonesia biasa menggunakan air untuk membasuh atau membersihkan diri sehabis buang air. Perkara membersihkan diri dengan air atau lazim disebut “cebok” masih saja dilakukan sekalipun bagi mereka yang masih menggunakan jamban atau toilet yang berada di pinggir kolam atau empang. Namun bagi masyarakat di belahan bumi lainnya, kebiasaan membasuh dengan air tidak dilakukan, sebagai gantinya mereka menyekanya dengan kertas toilet.
WC rata-rata penduduk Indonesia.. lebih bersih dan "tidak merusak lingkungan".
Sekilas, kertas toilet kelihatan seperti perkara sepele saja. Toh itu hanya kertas yang digunakan untuk membersihkan diri atau cebok. Sesungguhnya kertas toilet memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut catatan Bulk Wolf (Sejarah Kertas Toilet) yang terdapat dalam ABCNews, sekitar abad ke-14 Kaisar China meminta kertas toilet berukuran dua kali tiga kaki. Pada tahun 1596 Sir John Harington, menemukan toilet yang dapat mengeluarkan air (flushing). Hal ini lalu memberikan inspirasi bagi perkembangan berikutnya. Joseph C. Gayetty, seorang pengusaha, yang membuat kertas toilet yang disebut “therapeutic paper” (kertas terapi). Kertas toilet dalam bentuk gulungan baru muncul menjelang akhir abad ke-19 yang dipromosikan oleh Scott Paper—perusahaan ini pada akhirnya bergabung dengan salah satu perusahaan kertas toilet raksasa Kimberly-Clark.
Jika dilihat dari sejarahnya yang panjang, mungkin kertas toilet tak lagi dipandang sebagai barang sepele. Namun barangkali masih ada yang menganggap kertas toilet sebagai barang sepele tapi tidak oleh militer Amerika. Ketika Perang Teluk berkecamuk, tentara Amerika menggunakan kertas toilet untuk menyamarkan tank-tanknya!
Di negara-negara maju semisal Amerika, negara-negara di kawasan Eropa, dan Australia pemakaian kertas toilet cukup besar. Besarnya jumlah pemakaian kertas toilet ini tak lepas dari kebiasaan toilet yang ada di negara-negara tersebut. Oleh karena kebiasaan ini maka ia harus senantiasa tersedia dan karenanya harus selalu masuk dalam daftar belanja. Bahkan kertas toilet menjadi pilihan kedua terbanyak setelah makanan jika orang ditanya apa yang paling dibutuhkan seandainya terdampar di sebuah pulau (www.toiletpaperworld.com). Hal ini membuat kertas toilet merupakan barang yang cukup konsumtif. Masih dari sumber yang sama, menurut survey yang dilakukan Charmin (sebuah anak cabang dari perusahaan Procter & Gamble di Amerika), rata-rata pemakaian kertas toilet kurang lebih 8 lembar sekali pakai atau 57 lembar perharinya dan 20.805 lembar pertahunnya. Dengan angka-angka ini dapat dibayangkan jika di sebuah kota berpenduduk 20 juta, maka pemakaian kertas toilet pertahunnya kurang lebih mencapai 416 milyar lembar! Selain menunjukkan jumlah pemakaian yang besar, angka ini juga menunjukkan bahwa dibalik perkara cebok terdapat ladang bisnis yang menggiurkan. Lihat saja dalam skala kecil, bisnis toilet di Indonesia yang tak pernah sepi. Apalagi jika dalam skala besar, semakin banyak dolar yang dapat diraup dari bisnis toilet ini. Kimberly-Clark meraup sekitar 4,46 juta dolar pada tahun 1999 dengan penjualan sebanyak 16.9 milyar lembar kertas toilet dari 1 gulung kertas toilet yang berisi 280 lembar (www.toiletpaperworld.com).
Jika dilihat dari sejarahnya yang panjang, mungkin kertas toilet tak lagi dipandang sebagai barang sepele. Namun barangkali masih ada yang menganggap kertas toilet sebagai barang sepele tapi tidak oleh militer Amerika. Ketika Perang Teluk berkecamuk, tentara Amerika menggunakan kertas toilet untuk menyamarkan tank-tanknya!
Di negara-negara maju semisal Amerika, negara-negara di kawasan Eropa, dan Australia pemakaian kertas toilet cukup besar. Besarnya jumlah pemakaian kertas toilet ini tak lepas dari kebiasaan toilet yang ada di negara-negara tersebut. Oleh karena kebiasaan ini maka ia harus senantiasa tersedia dan karenanya harus selalu masuk dalam daftar belanja. Bahkan kertas toilet menjadi pilihan kedua terbanyak setelah makanan jika orang ditanya apa yang paling dibutuhkan seandainya terdampar di sebuah pulau (www.toiletpaperworld.com). Hal ini membuat kertas toilet merupakan barang yang cukup konsumtif. Masih dari sumber yang sama, menurut survey yang dilakukan Charmin (sebuah anak cabang dari perusahaan Procter & Gamble di Amerika), rata-rata pemakaian kertas toilet kurang lebih 8 lembar sekali pakai atau 57 lembar perharinya dan 20.805 lembar pertahunnya. Dengan angka-angka ini dapat dibayangkan jika di sebuah kota berpenduduk 20 juta, maka pemakaian kertas toilet pertahunnya kurang lebih mencapai 416 milyar lembar! Selain menunjukkan jumlah pemakaian yang besar, angka ini juga menunjukkan bahwa dibalik perkara cebok terdapat ladang bisnis yang menggiurkan. Lihat saja dalam skala kecil, bisnis toilet di Indonesia yang tak pernah sepi. Apalagi jika dalam skala besar, semakin banyak dolar yang dapat diraup dari bisnis toilet ini. Kimberly-Clark meraup sekitar 4,46 juta dolar pada tahun 1999 dengan penjualan sebanyak 16.9 milyar lembar kertas toilet dari 1 gulung kertas toilet yang berisi 280 lembar (www.toiletpaperworld.com).
Besarnya jumlah konsumsi kertas toilet mengakibatkan naiknya jumlah produksi kertas toilet. Hal ini tentu saja berimbas pada penyediaan kayu sebagai bahan dasar pembuat kertas. Jika seandainya pemakaian hutan di negara produsen dan konsumen kertas sudah mencapai titik maksimum maka hal ini dapat mengganggu proses produksi kertas. Selanjutnya kebutuhan pasar kertas tak medapatkan pasokan. Mungkin sebagian besar pengguna kertas toilet akan kebingunan jika kertas toilet tak mudah lagi didapatkan. Dalam situasi ini, jalan keluar yang diambil adalah mengimpor bubuk kertas dari negara lain. Jalan keluar semacam ini mengorbankan hutan-hutan di negara-negara dunia ketiga—banyak perusahaan kertas berlokasi di negara-negara maju.
Saat ini, sekitar 80% pasokan pulp dan kertas dunia berasal dari negara-negara Norscan, yang telah mencapai titik maksimum penggunaan hutan mereka. Padahal, pada saat yang bersamaan, kebutuhan dunia meningkat sekitar 3% setiap tahunnya. Harapan untuk memenuhi kebutuhan tersebut jatuh pada negara-negara yang masih memiliki hutan, seperti Indonesia, Brasil, Cile, Afrika Tengah, dan Rusia. Karena itu, di kawasan Asia, Indonesia memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia. http://www.aikon.or.id/minggukertas/faq.asp
Negara-negara yang masih memiliki hutan—umumnya negara dunia ketiga—mungkin melihat persoalan ekspor kertas sebagai peluang untuk mengangkat perekonomian negara. Beranjak dari pandangan tersebut, dibuatlah perjanjian bisnis antara negara pemilik hutan dan perusahaan kertas. Setelah perjanjian bisnis selesai ditandatangani, maka berdatangan orang-orang dengan segala mesin-mesin canggihnya untuk menebangi pohon-pohon. Tak dapat disangkal lagi, proses penebangan hutan untuk produksi kertas mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lihat saja kasus Indorayon—sebuah perusahaan bubuk kertas di Sumetara Utara—yang proses produksinya kemudian membuat volume air Danau Toba berkurang. Mudah diprediksi bahwa kasus-kasus serupa juga terjadi di negara-negara lainnya jika melihat ulah para perusahaan penghasil bubur kayu.
Saat ini, sekitar 80% pasokan pulp dan kertas dunia berasal dari negara-negara Norscan, yang telah mencapai titik maksimum penggunaan hutan mereka. Padahal, pada saat yang bersamaan, kebutuhan dunia meningkat sekitar 3% setiap tahunnya. Harapan untuk memenuhi kebutuhan tersebut jatuh pada negara-negara yang masih memiliki hutan, seperti Indonesia, Brasil, Cile, Afrika Tengah, dan Rusia. Karena itu, di kawasan Asia, Indonesia memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia. http://www.aikon.or.id/minggukertas/faq.asp
Negara-negara yang masih memiliki hutan—umumnya negara dunia ketiga—mungkin melihat persoalan ekspor kertas sebagai peluang untuk mengangkat perekonomian negara. Beranjak dari pandangan tersebut, dibuatlah perjanjian bisnis antara negara pemilik hutan dan perusahaan kertas. Setelah perjanjian bisnis selesai ditandatangani, maka berdatangan orang-orang dengan segala mesin-mesin canggihnya untuk menebangi pohon-pohon. Tak dapat disangkal lagi, proses penebangan hutan untuk produksi kertas mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lihat saja kasus Indorayon—sebuah perusahaan bubuk kertas di Sumetara Utara—yang proses produksinya kemudian membuat volume air Danau Toba berkurang. Mudah diprediksi bahwa kasus-kasus serupa juga terjadi di negara-negara lainnya jika melihat ulah para perusahaan penghasil bubur kayu.
Jika demikian buruk dampak pemakaian kertas terhadap lingkungan, apakah ada alternatif pengganti kertas, termasuk kertas toilet? Apakah lebih baik para pengguna kertas toilet dianjurkan untuk mengganti kebiasaannya, misalnya membasuh dengan air? Agak sulit untuk mencari pengganti kertas dan juga sulit merubah kebiasaan yang telah berlangsung berabad-abad. Jawaban lainnya mungkin adalah penggunaan kertas daur ulang sebagai kertas toilet. Jika dilihat dari banyaknya sampah yang dihasilkan dari pemakaian kertas, maka produk daur ulang seperti obat mujarab untuk mengatasi persoalan pemakaian kertas. Sekarang ini banyak kertas toilet yang merupakan produk daur ulang. Dengan adanya produk daur ulang ini maka para konsumen kertas dianjurkan untuk memilah sampah di kantor atau di rumah masing-masing.
Keprihatinan akan pemakaian kertas yang begitu besar dan dampaknya terhadap kelestarian hutan beserta habitatnya, harus mengendap dalam kesadaran para pengguna kertas toilet. Mereka harus pandai memilih produk kertas toilet yang dihasilkan dari proses daur ulang.
Persoalannya yang muncul dari daur ulang adalah kualitas. Kualitas kertas toilet daur ulang mungkin tak sehalus kertas toilet yang tidak didaur ulang. Barangkali mereka yang sudah terbiasa menggunakan kertas toilet yang tidak didaur ulang akan kecewa jika menggunakan kertas toilet daur ulang. Mereka takut bahwa kertas toilet daur ulang tak cukup lembut di pantat. Tapi kekecewaan itu tak seberapa dibandingkan dengan lingkungan yang hancur dan eksistensi masyarakat yang bergantung hidupnya pada hutan menjadi terancam. Agak ironis, disatu sisi hanya persoalan pantat dan disisi lain persoalan eksistensi yang terancam. Mengenai hal ini seorang teman di Melbourne bercerita tentang seorang dari dunia ketiga yang bertanya pada pengguna kertas toilet, “Apa yang anda lakukan dengan kebiasaan toilet anda jika kami tak menebang pohon-pohon kami?” Pertanyaan ini bukan mengejek para pengguna kertas toilet namun mengajak untuk berpikir kembali bahwa apa yang biasa digunakan untuk membersihkan pantat diambil dari hutan-hutan di negara lain, yang merupakan bagian dari hidup mereka.
Penulis: Rahadian Permadi, aktivis kemanusiaan kini bermukim di Australia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar