Selasa, 07 Desember 2010

PERPRES NO 54/2010 BERPOTENSI TIMBULKAN KORUPSI



INILAH.COM, Balikpapan 

Perpres No 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa untuk Pemerintah dianggap memberi peluang korupsi yang sangat luas. Peraturan yang dikeluarkan Presiden SBY ini membolehkan penunjukan langsung (PL) untuk proyek dengan nilai hingga Rp100 miliar.

"Padahal di Kepres No 80/2003, produk dari zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, PL hanya sampai nilai Rp50 juta," kata Jonni Oeyoen dari Transparency International (TI) Indonesia di Balikpapan Minggu (5/12/2010).

Menurut Jonni, dengan pejabat pemegang kuasa lelang boleh menunjuk siapa-siapa untuk mengerjakan proyek yang nilainya hingga Rp100 miliar, maka kolusi, korupsi, dan nepotisme akan mendapat tempat leluasa.

"Peluang korupsi dibuka sendiri oleh pemerintah," sambung Jufri, direktur eksekutif perkumpulan Stabil, LSM pemerhati masalah-masalah kota di Balikpapan.

"Kami mengajak teman-teman masyarakat sipil untuk lebih mengetatkan lagi pengawasan terhadap proses-proses pelelangan pengadaan barang dan jasa ini," tegas Jonni.

Patut diduga, kata Jonni, dengan nilai proyek sebesar itu, para pengusaha penyedia barang dan jasa sangat mungkin menghalalkan segala cara, termasuk memberi gratifikasi untuk mendapatkan proyek tersebut.

Seperti dilaporkan sendiri oleh kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo, pekan lalu, 80 persen kasus korupsi yang ditangani kejaksaan hingga KPK berasal dari pengadaan barang dan jasa.

Di Kaltim, disebutkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Dachamer Munthe, selama Januari-Oktober 2010, terjadi 108 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp700 miliar. Hampir seluruhnya juga berasal dari pengadaan barang dan jasa.

Meski kini proses lelang melalui electronic procurement (e-proc) atau cukup melalui email, dimana penawaran perusahaan penyedia barang dan jasa cukup disampaikan melalui email, bukan berarti korupsi dan kolusi bisa langsung dihapus.

Apalagi korupsi memiliki banyak bentuk. Seperti dikatakan Jufri, modusnya tidak hanya penggelembungan harga, tapi juga bisa mengurangi mutu barang atau pekerjaannya

Pengadaan Barang dan Jasa Rawan Korupsi

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) rnenilai proses pengadaan barang dan jasa rawan penyimpangan (korupsi). Namun, sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), celah penyimpangan itu cenderung berkurang.

Kepala LKPP, Agus Rahardjo, mengatakan bahwa setidaknya 35-40 persen anggaran ditujukan untuk pengadaan, baik belanja modal maupun barang dan jasa. Jika saat ini total belanja pemerintah sekitar Rp 1.100 triliun, Rp 400 triliun di antaranya digunakan untuk anggaran dimaksud.

"Sebelum ada KPK, ini menjadi ajang yang memprihatinkan. Karena kalau dilihat, kasus baru di KPK 70 persen itu kasus pengadaan," ujar Agus dalam sosialisasi pelaksanaan Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa, di Jakarta, Rabu (6/10).

Menurut Agus, LKPP mengetahui adanya kasus yang masuk ke KPK lantaran instansinya dilibatkan oleh KPK sebagai saksi ahli. Berdasarkan pengalaman itu, sejumlah peraturan akan disusun. Salah satu yang akan disusun yakni RUU Pengadaan Barang dan Jasa.

Agus menjelaskan, dalam aturan tersebut, pemerintah berencana memasukkan aturan soal uang publik yang ada di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Aturan ini dibuat karena selama ini pengadaan barang dan jasa di perusahaan pelat merah kerap tidak transparan dan akuntabel.

"Jadi nantinya UU ini tak hanya berlaku untuk APBN atau APBD, tapi juga uang publik yang terkumpul di BUMN atau BUMD," jelas Agus.
Menurut dia, banyak hal yang ingin diwujudkan dalam UU ini karena Keppres 54/2010 yang ada saat ini hanya mengatur dana APBN dan APBD.

Agus mengungkapkan, uang pengadaan barang dan jasa yang dikelola perusahaan pelat merah nilainya cukup besar Sebut saja misalnya, pengadaan barang dan jasa di PLN sekitar Rp 150 triliun dan anggaran di BP Migas sebesar 9-12 miliar dolar AS.

"BP Migas yang nantinya ditagihkan ke pemerintah tidak kurang 9 hingga 12 miliar dolar AS. Itu apakah kita biarkan tanpa transparansi dan akuntabilitas yang jelas walaupun nanti perlu aturan yang beda?" tuturnya.

LKPP, kata Agus, menargetkan peraturan baru ini bisa rampung pada 2011. Draf RUU ini akan diserakan ke DPR paling lambat akhir tahun ini.

Layanan pengadaan

Terkait hal ini, pemerintah juga berencana membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP). Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Mulia Nasution, pembentukan ULP dimaksudkan agar proses pengadaan dilakukan oleh staf yang profesional.

"Itu merupakan kebijakan nasional bukan hanya di Kementerian Keuangan. Tapi, sekarang kita persiapkan di Kemenkeu," katanya.

Sumber : KPK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar